1435 #4—PutrisafirA255

77-copy

1435—The Past

.

Story from PutrisafirA255

.

Cast

Oh Sehun-Kim Hanna

Byun Baekhyun- Helena Jung

Other Cast

Jung Hyejin-Min Yoongi

etc

.

Genre

Marriage Life, Romance, AU, Fluff, Drama, Family, etc.

.

PG-16

.

Hope you like it and give me comment as appreciation

.

PutrisafirA255©2016 | Blackandwhite

.

Prolog  #1 [Restart] | #2[Propose] | #3 [Could I?]

| #4[The Past] [NOW].

.

.

“Bolehkah aku egois untuk mendapatkanmu, Han?” Tiba-tiba saja Sehun ber-monolog ria. Mengajak si gadis berbicara, meskipun ia tak akan mendapatkan sekata pun jawaban. “Tidak, aku tidak bisa melakukannya,” ucap Sehun menyanggah keputusannya. Ia sudah berjanji akan menjaga Hanna, dan sebagai pria sejati, ia tak boleh mengingkarinya.

Tetapi, ia juga hanya manusia biasa yang ingin mendapatkan apa yang ia mau. Sudah lebih dari tiga tahun ia memendam hasratnya untuk menyentuh wanita, karena ia hanya menginginkan Hanna. Maka dari itu, jangan salahkan Sehun jika ia berpikiran untuk menyentuh Hanna.

Karena pemikiran terakhirnya yang jauh lebih kuat, ia memberanikan diri menatap wajah gadis Kim itu lebih dekat dari jarak sebelumnya. Mengikis jarak demi terciptanya romansa intim yang ia ciptakan sendiri guna memenuhi fantasinya selama ini.

Hanya satu yang menjadi tujuannya. Bibir tipis dengan pemilik yang berada diambang kesadaran yang kini ada di hadapannya. Perlahan, ia mengikis jarak lebih dekat lagi agar fantasi yang sudah ia bangun menjadi kenyataan. Matanya kini terpejam, mengikuti naluri jika saja suara deheman dari sosok pria di ambang pintunya tak mengganggu.

Sehun sontak menoleh, mencari sumber suara yang sudah merusak suasana. Menatapnya lamat-lamat hingga ia tahu siapa pria itu. “Min Yoongi?” tebak Sehun—lebih tepatnya memanggil untuk memastikan.

Tak dinyana, ternyata ia benar. Pada sekon berikutnya, pria itu menoleh ketika Sehun bangkit. Cepat-cepat ia menghampiri pria Min itu dengan air muka kentara terkejut, hingga akhirnya lekas berlari ke luar ruangan demi mencapai pria itu lebih cepat.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Sehun setelah tangannya menggapai knop pintu lekas menutupnya. “Aku hanya ingin mengantarkan beberapa berkas karena kau sejak tadi tidak bisa dihubungi,” ujarnya membuat pembelaan.

Sejurus kemudian, pria Oh itu merutuki kebodohannya yang meninggalkan semua barangnya di mobil. Hingga ia akhirnya memilih untuk menarik lengan kekar pria Min itu menuju kantor pribadinya. Mengajaknya berbicara lebih lanjut, atau mungkin juga membungkam pria itu dengan ancaman yang bisa membuatnya kalah telak.

“Siapa wanita tadi?” Bukannya ia diam dan menjanjikan sesuatu untuk mempertahankan posisinya, Yoongi justru dengan lancangnya menayakan gadis yang hendak di cium Sehun tadi. Pasalnya, Sehun belum pernah menyentuh ataupun melakukan hal-hal yang semacamnya. Jadi, wajar ‘kan jika Yoongi menjadi lebih posesif seperti ini?

“Wani..ta? yang mana?” tanya Sehun berlagak sok bodoh. Tentu saja Yoongi tak bisa disamakan dengan Nara! Tetapi, ia juga bingung bagaimana menjelaskannya. Perasaan itu datang tiba-tiba tanpa ia sendiri sadari. Dan sekarang, ketika ia ditanya seperti ini, ia bahkan seperti maling yang tertangkap basah.

“Aku bukan orang bodoh, Hun.” Ujar Yoongi memperingatkan. “Apa dia calon istrimu?” ia kini semakin berani mencecar pria Oh itu dengan beberapa spekulasi yang semakin memojokkan.

Gerakan gusar pun ditampakkan oleh Sehun sejurus ia mencari jawaban yang bisa mengelabuhi Min Yoongi. Namun bisa apa? Ia hanya bisa mengalihkan pembicaraan menuju bisnis jika ia ingin menghindari percakapan sensitif ini.

“Berikan padaku dokumen itu,”

“Dasar!” dengus Yoongi kesal, namun masih menuruti permintaan sahabatnya itu.

.

.

.

Pagi sudah menggradasi langit kota Seoul dengan indahnya. Mengajak beberapa gumpalan awan yang masih mampu bertahan agar membuat para penghuni bumi bisa melakukan aktivitas mereka tanpa terganggu.

Gadis Park itu sudah bangkit dari ranjangnya sejak pagi buta. Sengaja melakukan hal yang bukan kebiasaannya hanya untuk membuatkan sarapan sang kekasih tercinta. Mencoba melakukan yang terbaik agar ia bisa mendapatkan jawaban dari beberapa pertanyaan yang mungkin akan mengganggunya—lagi.

Namun, ketika usahanya sudah disajikan di atas meja makan, pria bermarga Byun itu justru hendak melangkah kembali setelah melayangkan satu kecupan di dahi. Mencoba memberikan kode non-verbal agar gadis Park itu tahu kalau ia sedang sibuk dan harus segera menyelesaikan urusannya.

“Tidak sarapan lagi?”

Helena pada akhirya menegur. Mencoba mengambil alih atensi si Pria Byun itu sepersekian detik. Namun bukannya membalasnya dengan kalimat ataupun alasan yang logis, Baekhyun malah memberikan satu kecupan ringan di pipi pualam Helena. “Aku sudah terlambat, honey.”

Helena menggelengkan kepalanya—tak setuju. “Setidaknya, makan selembar roti. Aku tidak mau kalau kau sakit, Byun Baekhyun,” ujar Helena mencoba membujuk pria berdasi itu.

Satu helaan napas pun akhirnya terdengar. Baekhyun mengalah. Pria itu lekas mengambil alih tempat duduk di samping Helena yang tadinya kosong. “Aku akan makan,” ucapnya. Ia tak mau bertengkar hanya karena masalah sepele. Toh, ini juga untuk kebaikannya.

Mendapati Baekhyun mau menuruti perkataannya, senyum manis pun terpatri di bibir tipisnya sembari menatap wajah Baekhyun dalam diam. Mencoba menggapai masa lalu yang mungkin saja akan menjadi kenyataan jika saja Baekhyun tidak pengecut seperti dahulu. Tak berani melangkah hingga akhirnya kebahagiaannya direnggut sepihak.

“Jangan menatapku seperti itu, kau seperti fans yang mendapatkan pemandangan langka,” canda Baekhyun memecah keheningan yang terjadi di antara keduanya. Ia hanya merasa sedikit risih karena Helena terlalu menatapnya intens.

Menanggapi gurauan Baekhyun, Helena mengerucutkan bibirnya lucu. Kaca mata bulat yang tadinya ia gunakan untuk membaca sembari menunggu Baekhyun bersiap kerja pun ia letakkan. “Dasar percaya diri!” ledeknya.

“Memang,” sahut Baekhyun sambil menggendikkan bahunya yang disambut dengusan kesal Helena. Meskipun prianya itu suka sekali membanggakan diri, tetap saja ia menyukainya. Walaupun banyak orang yang mengatakan bahwa ia gadis yang bodoh—lebih memilih Baekhyun daripada Sehun yang status karirnya lebih tinggi. Memang apa yang salah jika ia kembali pada pria Byun itu?

“Baekhyun,” Helena agaknya mengingat sesuatu yang harus ia katakan pada pria itu. Baekhyun hanya menoleh, namun fokusnya terpusat pada gadis Park itu. “Sidangnya satu bulan lagi,” Helena memberitahu. Memang nadanya tenang, namun hazel gadis itu memancarkan sesuatu yang lain. Antara takut kehilangan juga takut kalah.

Selesai berkutat dengan roti juga menyesap kopinya sedikit, Baekhyun menangkup wajah cantik Helena. Merangkumnya sejenak dalam ingatan, lantas melancarkan beberapa kecupan di bibir tipis Helena hingga sang empunya meninju perut datar Baekhyun.

Bukannya merasa bersalah, Baekhyun justru terkikik puas. “Jadi, kau mau aku bagaimana? Kau sendiri yang ingin mengundur pernikahan kita,” ujar Baekhyun mengingatkan gadis itu. Ia bahkan sempat marah karena Helena tiba-tiba mengubah tanggal pernikahan mereka tanpa sepengetahuan Baekhyun. Namun, setelah Helena memberi pengertian, Baekhyun akhirnya mengalah—untuk kesekian kalinya.

“Kau masih marah?”

“Aku hanya masih kesal,” sahut Baekhyun tanpa pikir panjang, tapi setelahnya menambahkan, “hanya sedikit. . sangat sedikit,” tambahnya agar tak membuat Helena merasa bersalah. Baekhyun ingin jujur mengatakannya, tapi ia enggan. Batin dan pikirannya berbeda.

“Maafkan aku,” Helena berujar. Ini salahnya dan ia adalah salah satu orang yang patut di salahkan dalam hal ini.

Menanggapi permintaan maaf Helena, Baekhyun melancarkan aksinya lagi memberikan satu kecupan manis di bibir tipis itu. “Tak perlu meminta maaf, lagi pula aku sudah tidak mengingatnya,” senyum manis pun terukir di bibir Baekhyun sebelum pamit pergi.

.

.

.

Beberapa menit yang lalu, keheningan meraja hingga akhirnya Sehun masih bisa mengemasi beberapa barangnya yang hendak ia bawa ke kantor. Namun, dimenit selanjutnya, ia dikejutkan dengan pekikkan sopran yang tiba-tiba membuatnya terkejut setengah mati.

“APA YANG KAU LAKUKAN?!”

Hanna lekas mengangkat selimutnya tinggi-tinggi—menutupi tubuhnya sebatas leher—dengan spekulasi tak berdasar yang terancang begitu saja di otaknya. Ia bahkan menjatuhkan fokusnya pada Sehun yang masih mematung di sofa tempat pria itu semalaman lembur.

“Jangan bilang kalau aku ti—” suaranya melemah, mencoba menyuarakan opininya namun Sehun lebih mendahului guna melayangkan interupsi. “Kau tidur di situ sejak semalam dan jangan berteriak karena kamar Nara ada di samping,” ujarnya memeringatkan.

Sontak Hanna membuka selimut yang menutupi tubuhnya. Mencoba menilik pakaiannya dengan perlahan agar ia bisa memastikan sendiri bahwa tak terjadi apapun dengannya semalam. Mungkin saja Sehun berniat melakukan sesuatu yang ia tak ketahui, bukan?

“Kau masih utuh, seperti janjiku sebelumnya, aku akan menjagamu.” Langkah lebar Sehun terukir meregas jarak selaras dengan kalimatnya yang menggema. Guna antisipasi, Hanna memundurkan tubuhnya agar spasi konkret tak mengundang fantasi liar di tengah cerahnya pagi. “Good morning, Honey!” sapanya.

Alih-alih menjawab atau menyahut, Hanna justru masih terpaku. Mencoba menebak atau sekiranya melakukan hipotesis agar dirinya tak terusik dengan delusi liar yang sedari tadi mengganggunya. “Kau bisa pakai kamar mandiku untuk berganti baju. Aku sudah siapkan baju untukmu, meskipun aku tidak yakin kau akan menyukainya.” Terangnya panjang lebar.

Hanna menatap hazel coklat pekat milik Sehun lebih dalam, atau lebih tepatnya ia mencoba mengirim kode non-verbal. Sayangnya, pria Oh itu hanya bisa menaikkan satu alisnya sebagai tanda tak mengerti. “Cepat pergi! Kau mau mengintip, ya?” hardik Hanna kesal.

Well, tak lama lagi aku juga bisa melihatnya,” gumamnya, namun masih bisa terdengar oleh Hanna. Gadis itu lekas melempar bantal untuk menyadarkan pria Oh itu dari gumaman juga pikiran kotornya.

“Pergi atau ku bakar rumahmu!”

“Ya..ya..ya, aku akan pergi,”

.

.

.

“Apakah eonni tidak ikut sarapan, Yah?” tanya Nara ketika sosok jangkung Sehun sudah menempati salah satu kursi yang mengelilingi meja makan miliknya. Yang diajak bicara pun lekas mengalihkan pandangannya menuju si kecil yang sudah siap berangkat.

Eonni?” Sehun membeo. Agaknya merasa aneh ketika mendengar dua silabel itu terucap oleh sang anak. Seolah tahu bahwa ayahnya menanyakan mengenai sosok gadis yang kemarin menginap—menurut apa yang disampaikan Sehun—ia membenarkan dengan satu anggukan.

Ahjumma itu yang menyuruhku untuk—”

“Aku tidak setua itu!” suara sopran gadis Kim itu tiba-tiba terdengar ketika kalimat Nara yang masih rumpang menggantung. Kentara tak suka ketika ia mendapatkan panggilan seperti tante-tante kurang kerjaan—menurut Hanna. “Aku masih dua puluh tiga tahun, jadi jangan panggil aku seperti itu, okay?” sambungnya.

Tentu saja suara tawa dari bariton Sehun tak bisa di tahan oleh empunya. Pria itu justru terbahak-bahak hingga perutnya keram kemudian. “Maaf, Hanna Sayang. Tapi, kau itu sudah menginjak kepala dua,” ujarnya mengingatkan, sejurus kemudian jari-jarinya mengusap kelopak matanya yang basah karena tertawa.

“Diam kau, Hunnie!” sentak Hanna sembari menatap Sehun tajam. Ekor matanya pun hanya bisa menatap Sehun yang tertawa, juga melihat Nara yang nampaknya kebingungan dengan percakapan ala mereka. “Jangan sampai roti itu kubuat untuk menyumpal mulutmu!” peringatnya dengan menunjuk tumpukan roti melalui dagunya.

Sekon kemudian, Hanna mengambil tempat di samping Nara. Agaknya gadis Kim itu masih kentara menahan amarah karena tawa Sehun yang membuatnya serasa kerdil di rumah dinas yang ‘lumayan’ besar itu. “Ini masih jam setengah tujuh, Nara-ah, kau mau berangkat?” tanya Hanna mengalihkan topik pembicaraan. Jika anak kecil kebanyakan terlambat karena malas berangkat sekolah, Nara justru sebaliknya.

“Katanya ia mau berangkat lebih awal,” sahut Sehun mewakili jawaban Nara. “Memangnya mengapa? Anakku rajin, tidak sepertimu yang sekolah menengah ke atasnya masih terlambat, bahkan sampai dihukum,” ujarnya membanggakan anak semata wayangnya. Atau lebih tepatnya, ia ingin memancing keributan yang akan ditimbulkan akibat ucapannya.

Sayangnya, pengharapan Sehun harus pupus kala Hanna justru mengatakan hal yang lain. “Kau terlalu posesif, Hun.” Cecarnya. “Nara masih kecil, jangan memaksakan kehendak sesuai keinginanmu—”

“Aku mau berangkat,” si kecil menginterupsi perkataan Hanna. “Ayah, aku berangkat dulu.” Gadis kecil itu lekas turun dari kursi. Mendekati sang ayah guna menundukkan kepala sebagia rasa hormat, setelahnya pergi. Tak ada kecupan sayang ataupun sebagainya. Padahal, Hanna pikir hubungan ayah dan anak itu bisa membuatnya iri.

“Apa kalian bertengkar?” tanya Hanna pada Sehun yang justru terlihat santai. Pria itu menyesap kopinya sembari membaca beberapa berita yang disajikan koran pagi ini. “Seperti Hillary dan Donald Trump? Atau seperti kau dan aku?” tanya Sehun sebagai balasan atas pertanyaan Hanna.

“Jangan bertele-tele, Oh Sehun!”

“Hillary dan Donald Trump memang bersaing dengan satu kedudukan sebagai tujuan, anggap saja itu antara aku dan Helena yang menginginkan hak asuh Nara.” Ujarnya mencoba memberi kode. Namun, ketika Hanna masih memilih bungkam hingga keheningan melanda keduanya, Sehun berdehem guna melanjutkan kalimatnya yang rumpang.

“Kau tidak tahu maksudku?”

Satu anggukan Hanna loloskan.

“Baik Hillary maupun Donald melakukan apapun untuk mencapai tujuannya,” Kode kedua Sehun berikan. Bisa ia lihat Hanna mencoba berpikir keras—bahkan kerutan di dahinya pun seolah memberitahu—sampai di menit kemudian, Hanna menimpali. “Helena menghasut Nara?” tebaknya.

Sehun menggendikkan bahunya. “Well, itu bisa saja terjadi, tapi masih opini.”

“Dia mirip seperti ibunya, sikapnya bisa berubah dalam sekejap,” gumam Hanna, kendati demikian Sehun masih bisa mendengar. Ia pun pada akhirnya tertampar jauh menuju masa lalu. Ingin sekali ia mengatakannya pada Hanna, namun otaknnya menolak semua gejolak itu. “Aku rasa kalian juga sering bertengkar,” Hanna memecah keheningan dengan sejuta kuriositas yang menumpuk di otaknya. Salahkan Hanna yang rasa ingin tahunya terlalu besar.

Sehun menautkan kesepuluh jarinya di atas meja, lantas dijadikan tumpuan dagu runcingnya. “Seperti kau dan aku,” sahutnya membuat Hanna menghentikan aktivitas mengunyahnya. Gadis itu mendongak, mencoba mencari jawaban dari pernyataan Sehun yang mengharuskannya menilik masa lalu.

“Kita juga sering bertengkar, namun akhirnya bersatu juga.” Jelasnya. Kerjapan manis yang Hanna tunjukkan membuktikan bahwa gadis itu tahu apa maksud dari ucapan Sehun. “Jadi, kapan kita akan menikah?”

Uhuk..uhuk..

Hanna memukul dadanya yang sesak akibat pertanyaan Sehun yang sukses membuatnya skak mat. “Aku sudah memersuntingmu, juga sudah mendapatkan restu dari ibumu. Untuk apa menunggu lebih lama jika—”

“Tunggu!” Hanna lekas menginterupsi. “Kau bilang restu dari. . . kau bertemu dengan ibuku?!” Untuk yang satu ini, Hanna tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Pasalnya, ia tahu apa yang terjadi jika seorang politikus seperti Sehun bertemu dengan ibunya. “Ibu tidak mengatakan hal-hal yang jahat padamu, ‘kan? Atau mungkin menyinggungmu?”

Sehun mengulum tawanya menjadi senyum lebar yang tak bisa ia samarkan. “Kau mengkhawatirkanku?” tanyanya memastikan. Bukankah Hanna baru saja menanyakan mengenai perasaannya ketika bertemu dengan calon mertua?

Dengan pasti, Hanna menggeleng. “Ibuku tidak suka dengan politikus, apalagi sepertimu,” ujarnya dengan nada pelan. Kini, fokus Sehun tertuju penuh pada Hanna yaang juga meletakkan rotinya. Kuriositasnya mengalahkan rasa lapar juga melebihi keingintahuannya mengenai kekalahan Hillary dari Donald Trump yang terpampang nyata di koran. Lebih besar dari semuanya.

“Memangnya mengapa?”

Hanna membasahi bibir sejenak, kemudian mengigit bibir bawahnya. Sejurus kemudian, ia bercerita, “Ayahku meninggal ketika beliau menjabat sebagai wakil pedana menteri.” Hanna akhirnya bercerita. “Saat itu aku masih berumur sepuluh tahun, di tahun yang sama juga ibu bercerai dengan ayah. Ibu menggugat ayah karena beliau tidak lagi bisa memenuhi kebutuhannya juga anak-anaknya,”

“Setelahnya, ayah mengalami serangan jantung dan akhirnya meninggal sebelum aku menjenguknya. Aku memang anak yang tak berguna,” Hanna menunduk, menyembunyikan tetesan air mata yang hendak membasahi permukaan pipi, lantas menyekanya cepat.

Namun, ketika ia kembali mendongak, yang ia lihat justru dada bidang Sehun yang mendekat. Sekon selanjutnya, memberikan rengkuhan hangat. “Kau sudah menjadi anak yang baik, justru aku yang merasa bukan anak yang baik karena belum mengetahui siapa ibuku sejak aku kecil,” ucap Sehun mencoba menenangkan, kendati demikian, ia juga ingin terbuka dengan gadisnya itu.

“Kau tak tahu siapa ibumu?” tanya Hanna di sela-sela rengkuhan posesif Sehun. Aroma maskulin semakin menguar seirama ia menarik napas, sampai-sampai Hanna bersumpah tak mau kehilangan arom a itu untuk kesekian kalinya. Salahkah ia bersumpah seperti itu? Ia terlalu rindu, namun terlalu naif dalam satu waktu.

“Tak perlu membahasnya, aku hanya ingin memberitahu sekilas,”

“Dasar jahat!”

.

.

.

Bukan tanpa maksud gadis kecil itu datang lebih awal dari teman-temannya. Bermain piano merupakan salah satu hobinya yang bisa mengusir rasa kesal, marah, juga resahnya hanya dengan memainkan beberapa tuts.

Seolah menjadikan piano sebagai teman hidup—setelah ayahnya—ia tak bisa lagi menghindari benda yang lebih besar dan berwana hitam itu. Meskipun ayahnya sudah melarangnya, tetap saja si gadis kecil itu akan mencuri kesempatan selagi ada.

Selama nada-nada yang saling bertumbrukan menghasilkan sebuah melodi itu berkumandang di ruang musik, pikiran si kecil melayang entah kemana. Ada sebuah suara kecil yang mengusik hatinya, sampai-sampai membuatnya merubah sikap terhadap ayahnya, juga ahjumma yang baru ia kenal.

Nara tahu bahwa Hanna adalah calon ibu tirinya. Dan pernah teman-teman Nara bercerita bahwa ibu tiri itu galak, menyeramkan, bahkan sering memukul. Namun, Nara tak bisa merasakannya ketika ia bersama di dekat gadis Kim itu. Aura keibuan yang belum pernah ia dapatkan pun bisa dirasakan ketika di dekat Hanna.

Gadis Kim itu lembut, penyayang, tidak memaksakan kehendak, juga selalu ada di dekatnya. Membantunya mengerjakan tugas sekolah, dan masih banyak lagi yang mereka lakukan sebelum akhirnya ia terlelap dalam pangkuan Hanna. Semua itu belum pernah ia dapatkan—atau belum pernah merasakan sesuatu yang gadis kecil itu tidak bisa ungkapkan.

Ibunya, sering melakukan hal yang sama. Menyiapkan pakaiannya, membuatkan sarapan untuknya, tapi . .ya! Nara tahu apa yang berbeda!

Ayahnya. Pria bermarga Oh itu belum pernah tertawa sampai terbahak-bahak. Belum pernah menampakkan mata sabitnya karena orang lain. Hingga ia hanya bisa melihat dan merekamnya di dalam ingatan terdasar, agar ia tak pernah lupa mengenai hal itu.

Bukan ibunya yang membuat ayahnya tertawa, tapi gadis lain yang baru saja ia kenal, dengan pandainya merebut hatinya juga sang ayah, sampai-sampai ia sendiri ikut terlena.

“Kau bisa memainkannya sehebat itu, Nara-ah?”

Suara sopran yang tak asing itu berhasil menghentikan melodi dari tekanan tuts yang dihasilkan oleh jarinya. Gadis kecil itu menoleh, mendapati sosok wanita bermarga Kim yang baru saja membuatnya kacau, kini berdiri tak jauh darinya.

Kaki jenjangnya mendekat, membuat Nara menyeleraskan dengan gerakan tubuhnya yang memutar. “Bagaimana ahjumma bisa di sini?” tanyanya yang begitu nampak terkejut. Ayahnya tidak boleh tahu kalau ia sedang bermain piano. “Ehm, aku hanya ingin mengantarkan bekalmu yang tertinggal di meja makan tadi,” sahut Hanna memberitahu sekaligus mengangkat bekal di genggamannya.

“Apa ayah juga ikut?” Nara tak bisa membiarkan ayahnya datang ke sekolah. Gadis itu lekas bangkit untuk memastikan, namun belum terealisasikan, Hanna lekas mencekalnya. “Kalau begitu jangan keluar, ayahmu sedang bicara dengan kepala sekolah,” ujar Hanna memeringatkan. Ia menekuk lututnya guan menyejajarkan tingginya dengan gadis kecil di hadapannya.

“Aku rasa kau menyembunyikan bakatmu, apa aku benar?”

“Aku mohon, ayah tidak boleh tahu kalau aku bermain piano,” mohonnya pada Hanna yang justru dibalas acungan jari kelingking—kode non-verba. “Aku janji, bisakah ini jadi janji pertama kita berdua?” senyumnya tak lekas pudar, ia berharap bahwa Nara mau berteman atau setidaknya dekat dengannya.

Dengan mantap, Nara menggeleng. “Seonsaengnim juga tahu, jadi, ini rahasia kita berempat,” ujarnya dengan mimik polos yang berhasil membuat Hanna mengerutkan dahi. “Berempat?” Hanna membeo. “Aku, ahjumma, Jeon seonsaengnim, dan Jeno.” Sahutnya kemudian memberikan penjelasan.

Sontak senyum manis milik Hanna tak bisa ia sembunyikan. Ia tentu akan senang jika bisa mendapatkan putri secantik juga semanis dan sepolos Oh Nara. Hanna bahkan merutuki keberuntungan yang Sehun dapat ketika memiliki anak seperti Nara.

“Baiklah,”

.

.

.

Setelah selesai mengantarkan bekal Nara bersama Sehun, gadis Kim itu lekas berpamitan juga mendahului Sehun untuk undur diri. Dua puluh menit lagi ada operasi, untung saja lokasi sekolah Nara tidak jauh dari Sanghae Hospital—tempatnya bekerja.

“Darimana kau, princess?” tanya suara bariton di jangkung yang tiba-tiba menggema setelah ia menyapa beberapa karyawan. Satu dengusan pun Hanna loloskan, kemudian lekas menjawab, “Belajar menjadi istri yang baik itu ternyata susah, ya?” tanyanya bermonolog ria, namun Chanyeol masih mau mengganggu gadis Kim itu.

“Istri?!” Chanyeol tersentak dengan satu kata yang membuat cuping telinganya serasa berdengung. Ia lekas mencengkeram bahu Hanna, dipaksa agar irisnya bertubrukan dengan miliknya. “Kau akan benar-benar menikah dengan Oh Sehun? Secepat itu? Aku malah tidak yakin hubungan kalian berlandaskan cinta,” ucapnya panjang lebar, hingga Hanna sendiri ikut berpikir.

Cinta, ya? Hanna bahkan tak berpikir sejauh itu.

Enggan diajak berdebat, Hanna pun menghempaskan tubuh si jangkung yang menghalangi gerak jalannya. “Minggir, aku mau ke ruanganku,” sentaknya. Ia lekas meninggalkan pria Park itu agar gejolak emosinya tak semakin menjadi. Mengesampingkan emosinya atau lebih tepatnya perasaan tak menentu akibat pertanyaan juga penyataan Sehun pagi tadi.

Jujur, Hanna masih memertanyakan mengenai pernyataan Sehun yang mengatakan bahwa pria itu belum tahu siapa ibunya. Memangnya Sehun belum pernah menanyakannya? Ataukah mungkin Tn. Oh menyembunyikan rahasia itu dari Sehun? Lantas, mengapa Hanna memikirkannya?

Tak mau lagi berpikir, Hanna mengusak rambutnya kasar. Tak peduli dengan rambutnya yang sudah ia tata sedemikian rupa. Ia ingin segera mengganti bajunya dengan jas dokter kebanggaannya jika saja tak ada pria yang tiba-tiba ada di ruangannya itu menyambut.

“Hai, Bunny!” serunya, terlalu buta menyadari bahwa gadis di hadapannya itu begitu terkejut, sampai-sampai hanya bisa mengerjapkan matanya sejenak. “Kau tak merindukanku?” pria itu bangkit, lantas mengikis jarak guna menyampaikan rasa rindunya. Tangannya sudah terangkat menyambut, namun yang diinginkan justru bertanya.

“Apa kau benar-benar Kim Kai-ku?” Hanna belum bisa menerima kenyataan. Satu anggukan pun menjadi jawaban, juga senyum termanis yang hanya pria tan itu tampakkan untuk Hanna.

Beberapa detik kemudian, Hanna meraih tubuh pria jangkung itu. Memeluknya begitu erat, hingga bisa Kai rasakan detak jantung gadis Kim itu yang agaknya kegirangan mendapati dirinya telah kembali. “I miss you until driving me crazy,” ucapnya memberitahu. Dagu tegasnya ia sandarkan pada puncak surai Hanna, menghindari nalurinya untuk mengecup surai coklat itu.

Memang banyak yang salah pengertian mengenai Kim Kai dalam keluarga Hanna sendiri. Pasalnya, pria itu hanyalah anak angkat yang dijadikan sebagai pelengkap. Dibesarkan dengan penuh kasih sayang, sama seperti Junmyeon, maupun Hanna yang notabene-nya adalah anak kandung. Namun, baik dengan Junmyeon ataupun dengan Hanna, kedekatan mereka melebihi hubungan kakak-adik. Hanna sendiri sudah menganggap Kai sebagai sahabat, saudara laki-laki yang hebat, juga pendengar kegelisahannya yang baik. Tak sedikit yang mengatakan bahwa Kai lebih cocok dijadikan sebagai pacar daripada saudara.

Namun, beberapa tahun silam, Kim Kai menghilang tanpa kabar. Yang Hanna tahu, kakaknya mengatakan bahwa Kai menemui sanak saudaranya yang ada di New York. Dan kini, ia datang di saat yang tepat. Hanna butuh sandaran, juga butuh orang yang bisa ia jadikan tempat untuk mencurahkan segala kegundahannya.

“Aku membencimu, Kai!” ucapnya sembari memukul dada bidang pria itu. Tentu saja ia merasa dikhianati, atau lebih tepatnya ia marah juga benci karena telah meninggalkannya tanpa kabar yang jelas. Ia merasa sepi ketika Kai tak ada lagi dalam jangkuannya.

Kai mengambil jarak kembali untuk menambah spasi diantara mereka agar bisa saling menatap satu sama lain. Satu senyum kembali terukir di bibir seksi itu. “Maaf, aku sudah meninggalkanmu tanpa kabar yang pasti,” Kai kembali buka suara. Menyuarakan kesalahannya yang telah membuat gadis itu menangis. “Aku tidak akan pergi lagi,” Ia menambahkan.

Hanna tidak percaya. Terakhir kali Kai mengucapkan kalimat itu, pria tan itu justru meninggalkannya tanpa kabar. “Jangan membuat janji yang tak bisa kau tepati, Kim Kai!” tukas Hanna mengingatkan.

Belum juga Kai ingin menyuarakan jawaban untuk Hanna, pintu ruangan gadis Kim itu terbuka. Menampakkan pria jangkung yang hendak menjemput Hanna guna menunaikan tugas. Sayangnya, ketika Chanyeol yang hendak membuat keributan untuk Hanna, justru terpaku dengan kedatangan Kai yang tiba-tiba.

“Kai?!”

.

.

.

“Aku cuti besok untuk memersiapkan pernikahan kita,”

Suara bariton itu menggema melalui speaker ponselnya. Membuat Hanna harus sembunyi-sembunyi untuk menjawab telepon dari Kai yang duduk dihadapannya setelah menunggu hampir dua jam di cafe. “Bisakah diundur? aku kedatangan tamu,” ujarnya mengusulkan. Ia tak mau momennya juga Kai terganggu. Ia masih merindukan pria itu. Dan besok, ia akan ambil cuti untuk menghabiskan waktu bersama Kai. Mengulangi masa lampau yang teramat dirindukan.

“Tamu? Siapa?” agaknya Sehun tak bisa menyembunyikan rasa cemburunya. Pasti tamu itu begitu penting hingga ia sendiri diabaikan seperti ini. Terdengar suara helaan napas setelahnya, namun pria itu masih setia menunggu jawaban. “Kakakku, Kai.”

Hening melanda konversasi keduanya sebentar. Setelahnya, Sehun mengulangi nama yang mengundang atensinya. Kai? Siapa brengsek yang satu itu?

“Dia kakak angkatku, aku belum menceritakan—”

“Maksudmu, Kim Kai? Salah satu orang Korea yang menjadi tim pendukung Donald Trump di New York?” tebak Sehun yang memang tak meleset sama sekali. “Kau mengenalnya?” tanya Hanna yang tak membalas pertanyaan Sehun sebelumnya. “Tentu saja, dia musuh terbesarku untuk mendapatkan Sehun tak melanjutkan kalimatnya. Tidak, Hanna tidak boleh tahu.

“Mendapatkan apa? Jangan menyembunyikan rahasia dariku, Oh Sehun!” pekik Hanna, kuriositasnya yang besar bisa membuatnya tak tidur sepanjang malam hanya karena memikirkan kalimat Sehun yang rumpang. “Kau mau tahu? Berikan waktumu lima menit untuk bertemu dan mendengarnya langsung dariku, impas, ‘kan?”

Hanna mendengus, “Dasar otak politikus, suka mencari keuntungan!”

“Tapi, kau tetap menyukaiku, ‘kan?” tanya Sehun mengggoda gadis Kim itu. Di saat bosan, menggoda Kim Hanna adalah hobi yang paling ia sukai. “Tidak punya pekerjaan, ya?” tanya Hanna retoris, berharap pria itu akan mengingat beberapa pekerjaannya, lantas menutup sambungan mereka. Ia tidak enak dengan Kai jika harus mengangkat telepon selama itu.

“Ada, mencintaimu dan menunggu kita menikah. Itu pekerjaan yang berat, tahu? Apalagi kau dengan pria lain yang. . ah, sudah! Aku tidak mau membahasnya,” ucapnya semakin membuat jantung Hanna berdetak tak karuan. Mengapa pria ini senang sekali membuat pipinya memerah, huh?

“Sudah, Kai menunggu,”

“Aku juga menunggumu, setidaknya dahulukan aku—”

Kkeutneo!” setelahnya, sambungan diputuskan Hanna sepihak. Enggan berdebat hanya karena pernyataan tak berdasar. Gadis itu lantas mendekati Kai kembali yang baru saja menyesap cappuchino pesanannya. “Maaf, membuatmu menunggu lama,” ucapnya.

Kai mengulum senyum, cangkir cappuchinonya ia letakkan guna mengakhiri kegiatannya menikmati isi cangkir itu. “Tidak, kau malah memberiku waktu untuk berpikir,” sanggahnya, tak membiarkan gadis itu merutuki kesalahannya. “Berpikir? Sejak kapan otakmu itu kau gunakan untuk berpikir?” celetuknya tak peduli bagaimana sang lawan bicara akan menanggapi kalimat retorisnya.

Kai tak mengindahkan kalimat Hanna. “Aku berpikir bagaimana cara untuk kembali ke rumah, apakah ibu mau menerimaku kembali?”

Untuk pertanyaan yang satu itu, Hanna tak bisa menjawabnya. Pasalnya, Hanna tak tahu apa yang menyebabkan ibunya juga Kai berselisih, hingga pria itu meninggalkan rumah tanpa sepengetahuannya. Kai belum bercerita. “Ibu pasti akan menerimamu, atau setidaknya, kau bisa menyewa apartemen terdekat. Bukankah kau akan mendapatkan bayaran yang banyak setelah menjadi tim pendukung Donald Trump?”

Napas Kai tercekat setelah mendengar kalimat itu. Seolah alveolusnya tak bisa lagi diajak bekerja sama untuk menukarkan oksigen juga karbondioksida. Ia sudah menutupi masalah ini sejak bertahun-tahun lamanya—mencari pekerjaan untuk memantaskan diri ketika ia ingin memersunting wanita. Namun, semua itu tak lagi membuatnya bangga ketika orangtua dari gadis yang ia inginkan tak suka politisi.

“Bagaimana kau mengetahui itu?!” Nada pria Kim itu naik satu oktaf. Terlalu bingung bagaimana menentukan sikap—atau bingung bagaimana menutupi keterkejutannya. “Apakah kau mengenal politisi ternama di sini?”

.

.

.

Chanyeol masih tak habis pikir bagaimana pria yang begitu ia benci kembali lagi ketika ia sudah merelakan Hanna menciptakan dunia barunya bersama Sehun. Ini memang bukan urusannya, tapi dirinya juga tak bisa tinggal diam dan berpura-pura tuli.

Sejak tadi, Chanyeol hanya menatap kontak Sehun di layar lima inci miliknya. Berpikir berulang kali apakah keputusan yang ia pikirkan bisa membuat keadaan lebih baik lagi. Ia hanya mau Hanna bahagia dengan kehidupan barunya, bukan terkungkung obsesi yang Hanna sendiri belum menyadari.

“Halo?” Akhirnya, keputusan Chanyeol pun bulat. Jarinya beberapa saat yang lalu tergerak menelpon Sehun. Pria itu sudah mengangkatnya—Chanyeol menarik napas sebentar, kemudian menghembuskannya sedikit gugup. “Kau sibuk?”

“Well, aku selalu sibuksebenarnya,” ucapnya dengan nada sedikit sarkatis, namun masih menghargai lawan bicaranya yang agaknya ingin menyampaikan hal yang penting. “Tapi, aku tetap mendengarkan, apa yang kau inginkan?” sambungnya kemudian.

Chanyeol membenahi posisi duduknya—ia kembali gusar. Ada keinginannya untuk mundur dan mengatakan bahwa ia hanya iseng atau sejenisnya, tapi Park Chanyeol bukanlah orang yang pengecut. Ia masih menekankan prinsip itu. “Aku ingin bertemu denganmu,” ucap Chanyeol, mengutarakan keinginannya.

“Aku ada rapat tiga puluh menit lagi.” Sehun memberitahu. “Memangnya apa yang ingin kau bicarakan? Seberapa penting

“Ini tentang Hanna. . . . juga Kai,” nadanya melemah di suku kata terakhir. Agaknya berat hati menyampaikan, meskipun sebenarnya Sehun sangat tertarik, bahkan ingin berteleportasi jika kemampuan itu ada. Sayangnya, ia tak bisa. Kuriositasnya yang menggunung hanya bisa ia tumpuk demi mengedepankan gengsi masa lalu. “Memangnya mengapa dengan mereka? Hanna bilang mereka hanya sebatas

“Kakak-adik, benar?” tebak Chanyeol menginterupsi. “Hanna memang membatasi hubungan mereka sesederhana itu, tapi tidak dengan Kai.” Chanyeol mulai geram dengan Sehun yang bodohnya tak bisa membaca situasi—lebih tepatnya tak memiliki keingin tahuan yang besar mengenai calon istrinya sendiri.

“Ingat, Hun! Penyesalan datang di akhir permainan,”

.

.

Welcome Kim Jongin!

Akhirnya, main cast yang satu ini bisa bener-benar dateng di chap ini/tepuk tangan 😀

Ini udah mulai menuju puncak permasalahan, siap-siap jantungan, baper, sampai nangis-nangis *becanda/ Aku gak bisa bikin kalian baper sejauh itu, enggan tahu ah../ author depresi

[Tumben aku cepet update juga :D]

Kai ini anak angkat dari ibunya Hanna. Maka dari itu, Hanna menganggap kalau Kai ini kakaknya. Dia diadopsi udah lama, sebelum Sehun jadian sama Hanna. Maka dari itu, Sehun gak tahu Kai selain tentang urusan politik. BTW, aku kecewa ketika Hillary kalah dari Trump. Maka dari itu, kisah mereka aku sangkut pautin ke sini. /hehe

Thanks yang sudah berkomentar di chap sebelumnya, baik readers lama yang sudah mengikuti fanfict ini sejak prolog maupun yang baru saja dateng, selamat datang di fanfict absurdku :* Love you, guys!

36 thoughts on “1435 #4—PutrisafirA255”

  1. Aihhh udah pake Hillary ama Trump wkwk 😅😅 berat berat berat wkwwk
    Tuh kan aku makin yakin kalo narq itu anaknya Helena, bukan anaknya si sehun kan yaakk, ya ga sii? #sotoy wkw aku kira nara bakalan ngejutekin dan ga suka sama Hanna gitu, tapi ternyata ga ya. Bagus laa yaa. Si sehun sama Hanna keknya udah cucok banget deh. Udah laa. Langsung kawin aja mereka mahhh wkwk
    Ini main politik polisikan antara sehun sama kai, jadi inget K2 😅😅 wkwk
    Kaii jangan rebut Hanna dari sehun yaa. Awas Lo bang joonggg wkwk. Makasih lohh udah update cepet. Next nya ditunggu XD

    Like

    1. Biasanya anak tiri ngejutekin ibu tirinya itu udah mainstream. Kalo yang ini, biarkanlah mereka sejalan 😀

      K2? aku malah belum punya dramanya…

      BTW, thanks for comment 😀

      Liked by 1 person

  2. Kok semakin kesni mkn bingung siapa bapaknya Nara dirbutin Gitu ya …… Aduhhh kai dateng ,Japan hana sama sehun nyari nya wkwkwkw

    Kai udah Jan ganggu hana sama sehun mending sama aku ajalah kmu mahh ,aku ikhlas kok 😂😂😂

    Like

  3. sebenernya helena itu park atau jung ya? di cast dia helena jung, tp di cerita dia helena park. mohon penjelasannyaa 🙂
    kehadiran kai bikin khawatir iiih, kayanya ada sesuatu antara kai dan sehun. semangat untuk update selanjutnyaa 😀

    Like

  4. Yeayyy,cepet di update hehe. Ihh aku juga kesel Hillary kalah dari Trump. Wkwkwk apa ini urusannya(?)hehehe. Maksud chanyeol itu apa???kai sukakah sama hanna??
    Cobaan selalu datang kayaknya,hehehe. Gak sabar gimana klo mereka menikah pasti lucu yaa. Apalagi klo sehun rada manja gitu,wkwk. Nara sama Hanna semoga bisa saling menyayangi. Uuuu,ditunggu kelanjutannya. Keep writing and fighting!!!

    Like

    1. Eh, kita jodoh /wink/ karena sama-sama gak terima

      Kayaknya readers pada gak sabar, ya kalo Sehun ma Hanna nikah? Ditunggu, yang nulis aja bingung mau nikahin mereka kapan 😀

      Thanks for comment :*

      Like

  5. Seneng Oh Nara bisa nerima Hanna dia anak baik sih gak ngeselin seenggaknya. Kai suka sama Hanna kayaknya. Sehun harus beruasaha lebih untuk meyakinkan Hanna. Btw, aku kurang sreg sama beberapa kata yg diulang bebrrapa kali seperti ‘suara bariton’ mungkin bisa disesuaikan dgn kata yg lain supaya lebih enak dibaca. Ditunggu part selanjutnya^^

    Like

  6. kkkk baru ada paketan omegat jongin akuuu oh plis jangan bilang jongin pihak ketiga? tunggu tunggu apa hubungan ibunya hanna sama ayahnya sehun? oke oke itu yang ngeganjel dari tadi

    okee kalo gituu aku tunggu lanjutannya ya put
    hwaiting ^^
    :*

    Like

  7. haduu ada jongin nihh apakah jongin jadi pho ceritanya? aduhh jangan bikin gereget deh bacanyaa😒 btw ff nya seruu aku like bangett nihh😍 hak asuh nara jatuh ke sehun-hanna aja dongg kan nara sama hanna juga udahh mulaii dekett kan jadi kepo nih buat next episode–

    Like

  8. ada apa dengan hubungan baekhyun sama helena ??? aku curiga deh sama mereka…
    kapan nih sehun sama hanna nikah???
    tuh nara hobinya sama kaya helena kok gak kaya sehun ya..
    ok kak aku baca chapter selanjutnya.

    Liked by 1 person

  9. woahhh..nyangkutinnya smpai sekelas hillary & trump hihii politiknya keren kk, iyaa aku juga nyesel tuuh knpa trump bisa menang yaa kk..?? aishhhhh..malah bahas apa ini hahhaa
    .ayoo dong cepatan nikahhh..lamaa bgt hun nunggunyaa
    semogaa aja hanna nara makin akrabbbbb.. pliisss

    Like

  10. Cerita ini buat aku selalu ngga bisa bilang apa apa karena ceritanya seru bangetttt. MAAF ya thor karena aku selalu komennya muji terus . Karena sumpah aku ngga bisa bilang apa apa lagi selain keren dan perfcet.

    Liked by 1 person

    1. Aku jadi nge-fly lho..😊 aku masih belajar, apalagi kalo bagian typo😁

      But, thanks a lot for commented😚

      Like

Your Feedback, Please!