1435 #3—PutrisafirA255

77-copy

1435—Could I?

.

Story from PutrisafirA255

.

Cast

Oh Sehun-Kim Hanna

Byun Baekhyun- Helena Jung

Other Cast

Jung Hyejin-Min Yoongi

etc

.

Genre

Marriage Life, Romance, AU, Fluff, Drama, Family, etc.

.

PG-16

.

Hope you like it and give me comment as appreciation

.

PutrisafirA255©2016 | Blackandwhite

.

Prolog  #1 [Restart] | #2[Propose] | #3 [Could I?]

.

Pernikahan adalah sebuah hal yang sakral. Dimana dua insan diikat dalam satu hubungan telak dan tak bisa diganggun gugat. Tapi, apakah semudah itu memutuskannya?

Butuh beberapa detik ketika Sehun harus mencerna kenyataan yang memang sebenarnya ia inginkan, namun terlalu tabu untuk dipikirkan. Jika saja Sehun dan Hanna sudah lama menjalin hubungan selama bertahun-tahun, maka itu sah-sah saja Hanna menerimanya. Tapi, ini bukan Sehun dan Hanna!

Singkatnya, Sehun dan Hanna pernah menjalin hubungan selama satu tahun. Kala itu, Sehun berada pada tingkat akhir dan Hanna masih tingkat pertama. Ketika Sehun sudah lulus dengan nilai terbaik, hubungan mereka berakhir dengan sepihak. Sehun hendak dinikahkan dengan gadis yang sialnya adalah sahabat Hanna. Tragis, bukan?

Maka dari itu, pertanyaan yang ada di pikiran Sehun adalah; bagaimana Hanna mengatakannya dengan begitu mudah?

“Aku tidak dirugikan,” Hanna menyahut akhirnya. Meskipun waktu mengejarnya, Hanna bisa berpikir dengan matang. “Aku juga punya masalah, dan ini bisa membantuku,” ia menambahkan. Hanna sudah lelah difitnah dan dijadikan sebagai kambing hitam dalam hubungan Chanyeol juga Hyerim. Maka dari itu, ini bisa menjadi pelarian terbaik untuknya.

Sehun bungkam sejenak. Mengapa yang menjadi atensinya hanyalah satu; dirugikan? Sedangkan seharusnya masih ada kalimat yang mendukung keputusan cepat Hanna itu. Jadi, Hanna merasakan kalau ia dirugikan?

“Kau keberatan jika aku mendapatkan hak asuh Nara?” tanya Sehun menebak, meskipun hanya spekulasi semata dan sesuai dengan hipotesisinya. Si gadis Kim itu mendongak setelah menunduk beberapa sesaat setelah kalimat terakhirnya terucap. “Aku tidak bilang seperti itu,”

“Tapi kau merasa dirugikan,”

“Bukan tentang Nara,” Hanna tak mau tersudutkan, ia masih bersikukuh dengan argumennya. “Itu. . .” Hanna menghentikan kalimatnya, memikirkan bagaimana ia mengatakannya. Meskipun Hanna orang yang keras kepala dan terkadang berbicara tanpa berpikir terlebih dahulu, ia masih punya hati nurani—terkadang.

“Ah!” Hanna mendengus sebal. “Intinya aku mau menikah denganmu, selesai, ‘kan?” Hanna enggan memperpanjang masalah. Sehun membutuhkannya dan Hanna juga. Ada hubungan timbal balik sebagai balasan dan tak ada yang dirugikan juga. So, why Sehun take it so serious?

“Menikah itu seumur hidup, Han. Aku tidak mau berpisah untuk yang kedua kalinya, apalagi—”

Belum selesai Sehun berujar, ponsel lima inchi milik Hanna berdering. Meminta atensi sang empu agar lantas menerima panggilan. Hanna menjauh sebentar guna menjaga privasi, meskipun yang dihadapannya adalah perdana menteri sekalipun.“Apa?”

“…”

Arraseo, aku akan ke sana sekarang.” Hanna lekas memutuskan sambungan setelah kalimat itu terucap. Berbalik demi menatap sosok Sehun yang menatapnya intens. Agaknya enggan melepaskan tatapannya dari dirinya. “Ada masalah?”

Hanna meregas jarak, mendekati Sehun dengan perlahan. “Aku harus pulang, Junmyeon oppa mencariku,” ujar Hanna memberitahu. “Jika ada apa-apa dengan Nara kau bisa menghubungiku,” tambahnya kemudian.

Sehun pun berdiri, hendak mengantar tamu spesialnya namun dicegah. “Aku bisa pulang sendiri. Nara membutuhkanmu. Dia akan bangun tiba-tiba, jadi jangan khawatirkan aku,”

“Kau yakin? Aku yang membawamu ke sini,”

“Junmyeon oppa akan menjemputku di halte, aku akan kemari besok,”

“Baiklah, selamat malam Hanna sayang,” ucap Sehun dengan senyum tipis kebanggaannya yang begitu tulus, hingga Hanna yang biasanya memprotes sikap manis Sehun, kini menyambutnya hangat. Mengapa Hanna dengan begitu mudahnya berubah?

.

.

.

“Darimana, Han?” tanya Junmyeon ketika ia baru saja menginjak pedal gas dan meninggalkan halte dimana adik kesayangannya itu menunggunya. Pria yang sebaya dengan Sehun itu nampak begitu penasaran, meskipun dirinya sendiri pun tahu kalau adiknya itu tak akan memberitahu.

“Rumah teman,” sahut Hanna acuh, masih enggan mengalihkan pandangannya dari kota Seoul yang semakin sepi, hingga lampu-lampu yang bersinar tak kalah menarik dari dewi malam. Memandangnya dengan lekat, kendati pikirannya masih terngiang kalimat lamaran ala Oh Sehun yang berhasil membuatnya kaget setengah mati.

“Siapa temanmu selain Park Chanyeol dan juga Jung Hyejin, huh? Jangan bohong, Kim Hanna.” Ujar Junmyeon mengingatkan, juga menyangkal jawaban singkat yang diberikan Hanna atas pertanyaannya.

“Aku tidak bohong, oppa! Bisa tidak kita tak bertengkar dua hari saja?” Hanna jengah, lebih tepatnya muak. Kakaknya yang satu itu memang begitu menyayanginya, namun perasaan itu berganti menjadi protektif semenjak ayahnya meninggal. Karena menurutnya, sebagai anak laki-laki tertua, ia harus bisa menggantikan kedudukan ayahnya. Begitu kiranya.

“Baiklah, terserah.” Junmyeon akhirnya mengalah. “Tapi, sepertinya aku tidak asing dengan lingkungan itu,” ucapnya mengganti topik pembicaraan, namun masih seputar masalah yang sama. “Aku pernah sekali, tapi kapan, ya?” tanyanya pada dirinya sendiri, mencoba mengingat meskipun kini ia harus membagi dua perhatiannya; antara menyetir juga berpikir.

“Me-memangnya kapan kau pernah ke sana?” Entah mengapa, Hanna yang jadi bingung sendiri. Semoga kakaknya itu tak tahu mengenai. . .

“Bukankah apartemen Sehun ada di sekitar sana?” tebak Junmyeon yang tak meleset sama sekali. Diam-diam Junmyeon melirik Hanna untuk melihat bagaimana ekspresi gadis itu ketika mendengar nama mantannya disebutkan. Sayangnya, air muka Hanna tak berubah signifikan.

“Entahlah,” Bersyukur Hanna termasuk introvert, dimana ia tak terbiasa berbicara dan tak terbiasa terpancing dengan kalimat semacam itu meskipun akhir-akhir ini ia sempat hilang kendali. Sekiranya Oh Sehun berdampak pada perubahannya ini. “Kau yakin tidak tahu?” Junmyeon memancing lebih dalam, meskipun dijawab biasa oleh empunya.

Hanna pun menggeleng pasti guna menjawab pertanyaan dari kakaknya itu. “Mengapa kau ingin tahu sekali, huh? Jalankan saja mobilnya dengan benar!” pekik Hanna akhirnya, malas beradu argumen. Kepalanya sudah terlalu lelah untuk diajak bergelut.

.

.

.

Sehun terbangun ketika siluet mentari sudah menelusup melalui tirai kamarnya. Membuat sang pemilik rumah yang agaknya masih lelah berkat menjaga si gadis kecilnya lekas bangkit. Menatap Nara sejenak, kemudian tergerak kembali menuju kamarnya yang tak jauh dari kamar si kecil.

Diam-diam, Sehun masih memikirkan kejadian semalam yang membuatnya nampak seperti orang yang memanfaatkan pernikahan hanya untuk menyelamatkan status anaknya. Bahkan kata ‘dirugikan’ masih saja terngiang keras di kepalanya. Sebenarnya, ada apa dengan dirinya itu?

Langkah Sehun terhenti perlahan ketika ia melewati sebuah pigura dengan foto dirinya dan juga Helena ketika menikah tiga tahun yang lalu terbingkai dengan apik di nakas samping tempat tidurnya. Menatapnya lama, kemudian membuangnya ke tempat sampah kecil yang tak jauh dari meja kecil itu. Semua sudah berakhir, dan Sehun pun tak menyesal sudah mengambil keputusan.

Sehun tahu, lamarannya itu terlalu mendadak, bahkan bisa ia lihat air muka gadis Kim itu yang berubah—terkejut—seketika. Tetapi, bolehkah Sehun egois untuk sejenak? Mengambil kesempatan yang sudah dilemparkan oleh gadisnya itu dan menggunakan sebaik-baiknya. Ia yakin, lambat laun, entah kapan Sehun tak tahu, Hanna akan membalas perasaannya dan mengatakan bahwa gadis Kim itu mencintainya, meskipun Sehun mengatakan itu untuk meyakinkan dirinya sendiri.

“Ayah?”

Suara si kecil tiba-tiba menggema. Membuat Sehun yang awalnya bergelut dengan masa lalu akhirnya menoleh. Mendapati si kecil yang tengah berjalan mendekatinya, lalu mendongak demi menatap mata sang ayah.

Sehun yang menyadari anaknya hendak menyampaikan sesuatu lekas berlutut demi menyejajarkan tinggi. “Ada apa, Nara?” tanya Sehun pelan, namun masih bisa di dengar oleh gadis kecil itu. Bulir-bulir keringat masih nampak di dahi gadis kecil itu, hanya saja tekadnya sudah bulat. Sehingga, apapun yang menjadi keputusannya tak bisa diganggu gugat.

“Aku ingin masuk sekolah,” ujar Nara sembari menatap hazel sang ayah yang menatapnya khawatir setelahnya. Satu gelengan kepala pun Sehun tunjukkan kemudian. “Tidak, Nara harus istirahat agar—”

“Nara ingin sekolah!” pekiknya tak terima. Ia mau masuk sekolah dan bertemu dengan teman-temannya. Lagi pula, gadis kecil itu sudah merasa bahwa dirinya baik-baik saja. Jadi, untuk apa beristirahat jika di rumah hanya ada beberapa pembantu, penjaga, dan dirinya sendiri? Sedangkan yang ia butuhkan untuk memberikan kasih sayang tak ada.

“Bagaimana jika Nara sakit lagi?” tanya Sehun mencoba membujuk, meskipun ia tahu, anaknya itu tak bisa diubah pemikirannya.

Oh Nara, masih dengan pendiriannya menyatakan sanggahan yang mendukung keputusannya. “Ada seonsangnim di sekolah,” tukasnya. Sehun pun juga tak lelah, menyanggah kembali, “Tapi, ayah akan khawatir, tahu?”

Nara menatap Sehun tak suka. “Kalau pun Nara tidur di rumah, ayah ‘kan tidak ada. Jadi, ayah tidak khawatir dengan Nara,” tegas Nara yang berhasil membuat Sehun bungkam.

Benar, Sehun tak bisa menjaga anaknya meskipun ada orang lain di kediamannya.

“Oh Nara, dengarkan ayah!” Sehun tak mau lagi dibantah. Tapi, setelahnya ia menurunkan lagi suaranya agar tak kembali menabuh genderang perang untuk kesekian kalinya. “Ayah sayang Nara, jadi dengarkan ayah,”

“Nara juga sayang ayah, jadi turuti permintaan Nara,”

Sehun menghela napasnya kasar. Ia menundukkan kepalanya demi tak meluapkan emosinya. Nara masih kecil, dan mungkin setelah ini ia harus meminta maaf pada ibunya. Karena dulu, ibunya pernah cerita kalau Nara begitu mirip dengannya. Keras kepala, susah diatur, tapi penyayang.

“Baiklah, tapi dengan satu syarat,”

.

.

.

“Aku sibuk, Oh Sehun.”

Hanna memutar irisnya malas. Tangan kirinya ia gunakan untuk berkacak pinggang dan tangan kanannya ia gunakan untuk menopang ponselnya agar tetap menempel pada cuping telinga. Ia masih setia mendengarkan permintaan pria itu, meskipun ia malas sekali.

“Bukankah kau bilang jika aku membutuhkanmu, aku bisa menghubungimu?”

Suara bariton yang menggema di seberang line sana membuat kepala Hanna semakin berdenyut nyeri. Hanna memang mengatakannya, tapi tidak dengan permintaan Sehun yang satu itu. Hari ini, ia harus menyelesaikan beberapa makalah juga laporan. Dan yang paling sial, deadline-nya besok, sehingga mau tak mau, ia harus menyelesaikannya.

“Jam berapa Nara pulang?” tanya Hanna akhirnya. Sehun membutuhkan bantuannya sekarang, dan ia akan membalas bantuan yang diberikan Sehun kemarin. Ia masih punya budi pekerti yang baik, juga tahu balas budi.

Bisa Hanna dengar helaan napas kemudian, kentara Sehun begitu senang Hanna mau membantunya. “Jam sebelas, aku mohon jangan sampai—”

“Ya, aku tak akan terlambat menjemputnya.” Tukasnya, lalu mematikan sambungannya sepihak sebelum pria diseberang sana mengucapkan terima kasih. Ini masih terlalu pagi, bahkan Hanna mengerjapkan matanya beberapa kali sebab ia baru saja bangun tidur dan kemarin malam ada operasi mendadak.

Belum sempat Hanna kembali melanjutkan posisi tidur anehnya, Chanyeol lebih dulu datang. Masuk tanpa permisi, juga dengan suara pekikkan bass-nya yang menggema. “Mau tidur lagi, princess?” tanya Chanyeol—atau lebih tepatnya akan mengingatkan.

Hanna menghiraukan Chanyeol. Ia tak peduli meskipun panggilan kesayangan yang sudah entah berantah sejak kapan dikumandangkan itu bisa berakibat fatal jika Hyerim—pacar Chanyeol—datang. “Mau mati, ya?” Hanna menatap Chanyeol tak suka.

Bukannya pergi atau takut dengan pekikkan Hanna, Chanyeol justru menggeser kursi di hadapan Hanna yang bersebrangan dengan meja kerja gadis itu. Mencondongkan badannya tanpa malu, lantas menopang dagunya dengan tangannya. “Kau. . benar menjalin hubungan dengan Sehun?” tanya Chanyeol hati-hati, meskipun ia ingin menanyakan lebih dari sekedar satu pertanyaan.

Namun, satu pertanyaan Chanyeol gugur dan pukulan di dahinya pun didapatkan sebagai jawaban. “Kau benar-benar ingin mati, ya? Jangan membahasnya di rumah sakit!” ujar Hanna memeringatkan.

Chanyeol meringis. Tangan kanannya terangkat menyentuh dahinya yang nyeri akibat pukulan telak yang diberikan Hanna untuknya. Ia mendengus kesal sebelum menimpalinya dengan pekikkan. “Mengapa kau memukulku?!”

Tentu saja jawabannya pasti. Hanna sedang tak ingin membahas Sehun karena pria Oh itu sudah merusak hari Senin-nya. Dan sekarang, dengan tak berdosanya Chanyeol menanyakan perihal hubungannya dengan Sehun? Yang benar saja! Hanna sedang sensitif.

“Aku mau tidur,” Hanna enggan melanjutkan acara marahnya. Maka dari itu, ia lebih memilih melanjutkan tidurnya. Melipat tangannya di depan dada, menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi kerja, lalu memejamkan matanya. Peduli apa pada Chanyeol, istirahatnya sudah terganggu, dan ia tak mau diganggu lagi.

“Hanna,” panggil Chanyeol pelan. Dengkuran halus juga gerakan bahunya yang naik-turun perlahan meyakinkan Chanyeol bahwa gadis itu memang sudah di alam mimpi. Tak ada yang bisa ia lakukan selain memandangi wajah cantik rambut sebahu itu dalam diam. Ia sudah lama merindukannya dan biarkan sekali ini saja Chanyeol berkhianat.

“Selamat tidur, My Princess,”

.

.

.

“Permisi,” ujarnya pada salah satu guru muda di sekolah itu. Wanita yang umurnya mungkin lebih tua darinya dua tahun itu menoleh. “Ya, ada yang bisa Saya bantu?” tanyanya dengan ramah.

“Apakah Anda mengenal Oh Nara? Apakah dia sudah pulang?” Hanna bertanya dengan nampak cemas. Masalahnya, satu jam lagi ia harus kembali untuk menyelesaikan makalahnya. Dan sampai sekarang, ia belum melihat sosok gadis mungil anak Oh Sehun itu. Dan yang lebih sial, Sehun tak memberikan foto Nara padanya.

“Oh Nara? Ah, tentu saja,” jawabnya. “Memangnya apa hubungan Anda dengan Nara? Biasanya ibunya yang menjemput,” tambahnya kemudian. Nampaknya ia begitu penasaran dengan Hanna. “Saya? Saya. .” Hanna menghentikan kalimatnya. Memangnya hubungannya dengan Nara apa? Ia sendiri bahkan tak tahu hubungannnya dengan ayah anak itu—batin Hanna diam-diam menggerutu.

“Saya teman Ayahnya,” Akhirnya kalimat final itu tersampaikan. Ini jauh lebih aman daripada mengatakan bahwa ia adalah calon ibu tiri Nara. Kedengarannya ibu tiri itu jahat sekali. Ibu barunya? Memangnya dia apa? Jika Hanna memikirkannya lagi, maka ia memang benar-benar gila.

“Ah, teman Ayahnya,” wanita itu mengulanginya. “Sebentar lagi Nara akan selesai berlatih pianonya, mungkin lima menit lagi. Perlukah Saya memanggilkannya?” tanyanya lagi. Hanna memang kentara sekali terburu-buru. “Tidak perlu, Saya akan menunggu di sini,” sahutnya cepat. Pasti setelah ini ia akan dimarahi lagi oleh Hyejin juga Chanyeol karena melarikan dari tugasnya.

“Oh iya,” wanita yang diajak Hanna berbicara tadi kembali berbalik setelah beberapa langkah menjauhi Hanna. Agaknya ia hendak mengatakan sesuatu pada gadis Kim itu. “Oh Nara sangat berbakat dalam bermain piano, apakah Ayahnya yang mengajarkannya? Di umurnya yang baru menginjak empat tahun, permainannya terlalu bagus,” ujarnya panjang lebar.

Bermain piano? Helena juga pandai bermain piano sejak kecil—ujar Hanna dalam hati.

“Ibunya sejak kecil pandai bermain piano,” sahutnya membenarkan. Sejak kecil, Hanna dan Helena memang sudah saling mengenal. Bahkan dari sekolah dasar hingga tingkat akhir, mereka selalu satu sekolah. Hingga bisa dikatakan mereka adalah soulmate. Namun, kenyataan itu harus berakhir ketika Sehun memutuskan menikah dengan Helena.

Hanna tidak menjauhi ataupun membenci Helena, tetapi di saat gadis Park itu bertemu dengannya, tatapan tak suka kentara sekali. Hal itulah yang membuat Hanna memilih kuliah di Harvard untuk menghindari keduanya. Hanna memang kuat, ia memang mandiri, namun sisi lemahnya adalah suka menghindari masalah.

“Anda mengenal ibunya?” wanita itu semakin penasaran dengan sosok gadis di hadapannya ini. Sebenarnya, ia adalah guru yang mengajari—lebih tepatnya mengasah bakat—piano Nara. Dan ia juga yang sudah diberi amanat untuk menunggu seseorang menjemput Nara. Itu perintah Oh Sehun.

Tetapi, ia tak diberi tahu jika ada wanita lain yang akan menjemput gadis Oh Nara. Oleh karena itu, sejak tadi ia memberi pertanyaan pada Hanna agar ia tak salah mengambil keputusan. “Saya satu sekolah dengan ibunya,”

Okay, Hanna mencium gelagat penasaran, atau lebih tepatnya tak percaya dengan orang asing. Mengambil langkah, ia akhirnya mengeluarkan ponselnya, lantas mencari kontak Sehun. Menunjukkannya pada guru muda itu, kemudian memberikan penjelasan. “Jika Anda belum percaya, Saya bisa menelponnya.”

“Ah, tidak perlu!” sahutnya dengan nada seolah-olah ia adalah maling yang baru saja tertangkap basah. Paham kalau dirinya kalah telak, guru muda itu akhirnya mengungkapkan yang sebenarnya. “Biasanya tuan Oh Sehun selalu memberitahu Saya jika orang lain yang menjemput. Maaf jika membuat Anda merasa tidak nyaman,”

Hanna menggeleng, “Tidak, Saya justru yang meminta—”

Seonsaengnim, apa ahjumma ini yang akan menjemputku?”

Suara gadis kecil tiba-tiba menggema di antara mereka. Membuat Hanna terpaksa menghentikan kalimatnya yang rumpang. Di tatapnya gadis kecil itu lamat-lamat, dan ia yakin kalau gadis itu adalah Oh Nara. Wajahnya mirip sekali dengan Helena, namun entah mengapa ia tak merasakan Oh Sehun dalam diri gadis itu.

Annyeong!” sapanya dengan melambaikan tangan, juga tersenyum manis hingga lesung pipit di pipi kirinya nampak. “Aku yang akan menjemputmu, bisa kita pulang sekarang? Kau pasti lelah, ‘kan?” tanyanya lagi sok akrab. Untuk urusan akting, Hanna lemah sekali dalam bidang itu. Sehingga canggung nampak kentara sekali di antara mereka.

Seonsangnim, aku pulang dulu, selamat siang.” Pamitnya pada guru musiknya sambil menundukkan kepala sebagai tanda hormat. Setelahnya, ia menatap Hanna. Memberikan kode non-verbal, namun Hanna hanya diam. “Bisa kita pulang sekarang, ahjumma?” tanyanya sama persis seperti Hanna tadi.

“Ah, tentu saja!”

.

.

.

e743235e9d8ccc6d2db4807858d7d169

“Mengapa Anda memilih anak saya?”

Wanita paruh baya itu mengajukan pertanyaannya. Ia bahkan sering memarahi anaknya itu karena tak segera menikah, padahal sudah lulus cum laude dan sudah menjadi dokter. Dan kini, tiba-tiba ada pria yang melamarnya. Apalagi pria yang satu ini sangat dikenal publik.

“Karena memang sejak dahulu Saya menyukai Kim Hanna dan dulu kami pernah menjalin hubungan, jadi Saya rasa tak perlu menunggu lama untuk mempersuntingnya,” ujarnya dengan pasti, tanpa keraguan, juga dengan kewibawaan yang terpancar.

Ny. Kim mengangguk. Beliau kembali melanjutkan konversasi mereka, namun dengan kalimat yang mengejutkan pria itu. “Sejujurnya, Saya tak suka dengan orang yang bergelut di dunia politik,” ujarnya jujur, enggan menutupi ketidaksukaannya.

Sehun hanya terdiam. Tangannya terkepal diam-diam tanpa ia sadari, kendati demikian ia tetap mencoba bersikap tenang. “Tetapi, Saya rasa Anda bisa menjaga Hanna,” sahutnya lagi menambahkan.

Menanggapinya dengan senyuman, ia menambahi kemudian dengan anggukan. “Saya akan menjaga Hanna dan akan selalu membuatnya bahagia,” Sehun menjanjikan beberapa niatannya yang sudah lama sebenarnya ia ingin lakukan—atau mungkin sudah pernah ia lakukan—kepada Ny. Kim.

Alih-alih menerimanya, Ny. Kim justru menggeleng. “Tidak,” ucapnya. “Tidak ada pernikahan yang selalu bahagia. Mungkin Anda akan membuat Hanna menangis, atau bahkan membuatnya marah. Karena itu adalah hal yang wajar dalam setiap hubungan.”

Air muka Sehun yang awalnya nampak terkejut, akhirnya menampakkan segaris senyum di bibir. Wanita paruh baya yang sudah berhasil menjadi single parent selama tujuh tahun itu begitu bijaksana. Hampir saja Sehun mati salah tingkah karena kalimatnya yang selalu berhasil membuatnya kalah argumen. Persis seperti Hanna.

“Jangan terlalu formal, Sehun-ssi. Kau nampak sekali tegang,” canda Ny. Kim mencoba mencairkan suasana. “Aku tahu, kau orang yang romantis,”

Sehun tersenyum, kemudian ia lekas menimpali, “Aniyo, Saya justru canggung jika di dekat Kim Hanna.”

“Itu karena kalian sudah lama tidak bertemu,” sanggah Ny. Kim mencoba meyakinkan Sehun dan menjauhkan pria itu dari keraguannya. Hanya dengan mendengar juga melihat gesture yang Sehun tampakkan, Ny. Kim bisa mengerti bahwa pria di hadapannya itu begitu mencintai anaknya—Kim Hanna. Tetapi di sisi yang berbeda, beliau juga berpendapat bahwa pria itu takut mengenai sesuatu.

“Bagaimana dengan orangtuamu? Apakah mereka sudah tahu kalau kau ingin mempersunting Hanna?” tanya Ny. Kim mencoba mengalihkan pembicaraan. “Saya rasa mereka akan menerima keputusan Saya,” ujar Sehun menimpali. Ada makna tersirat dari kalimatnya, tetapi ia tak bisa mengatakan langsung jika Ny. Kim tidak bertanya.

“Kau tidak meminta izin mereka terlebih dahulu?”

Bukannya merasa terintimidasi atau sebagainya, Sehun justru tersenyum. Ia mengulum sebentar bibirnya, napasnya tercekat dan dadanya sesak sejurus kemudian. Namun, ia harus melanjutkan pembicaraan ini jika ingin mendapatkan restu. “Ayah saya meninggal karena penyakit jantung tiga tahun yang lalu,” ia mulai menjelaskan. Sejenak, ia mengambil napas untuk bernapas, kemudian ia kembali tersenyum ketika wanita paruh baya di hadapannya itu menanyakan ibunya.

“Bagaimana dengan ibumu?” Ny. Kim mulai tertarik dengan kehidupan pria di hadapannya itu. “Ibu saya meninggal sejak saya kecil dan saya belum pernah bertemu dengan beliau,” tambahnya melengkapi kisah tragis hidupnya.

Untuk lebih lengkapnya, Ayah Sehun meninggal tiga tahun yang lalu karena penyakit jantung yang menyerangnya ketika sedang bekerja di perusahaannya—Starlight Company. Sedangkan ibunya, seperti yang Sehun katakan, ia tak mengetahui bagaimana paras wanita itu. Ia pernah menanyakannya sekali(sudah lama sampai Sehun lupa kapan), tapi ayahnya bungkam. Beliau hanya mengatakan bahwa ibunya meninggal ketika melahirkannya.

Ny. Kim terdiam sebentar. Beliau adalah orang yang tak tega ketika mendengar cerita menyedihkan seperti itu. Hatinya terketuk namun enggan menampakkannya terlalu kentara. Beliau paham bagaimana perasaan pria itu hidup tanpa seorang kepala keluarga dan kasih sayang seorang ibu.

“Bolehkah aku bertanya sesuatu?”

“Tentu, Eommeonim, ” Sehun mengangguk.

“Apa Hanna tahu kalau kau kesini untuk melamarnya?”

“Ia tidak tahu, Eommeonim.”

.

.

.

“Tidak, aku akan memarahi Ayahmu kalau dia membentakmu,” sanggah Hanna meyakinkan Oh Nara. “Benarkah?” tanya Nara tak percaya. Gadis kecil itu agaknya masih ragu menerima pemberian Hanna.

Gadis Kim itu mengangguk. “Tentu saja,” sahutnya, lantas mengulurkan ice cream rasa stroberi pada Nara. “Tapi, kau tidak punya alergi, ‘kan?” tanya Hanna sebelum Nara meraih ice cream miliknya. Takut-takut kalau ia salah memberi dan membuat kekacauan.

“Aniyo, aku hanya alergi pada kacang,” ujarnya pada Hanna, namun iris coklat bulatnya menatap ice cream dalam genggaman Hanna. Ia sudah lama sekali tidak makan ice cream juga jalan-jalan ke mall seperti ini. Rasa bosan dan juga canggung di antara keduanya pun sirna entah sejak kapan, sehingga mereka tiba-tiba merasa seperti sudah kenal lama.

“Bagaimana eonni mengenal Ayah? Setahuku, teman Ayah hanya Min ahjussi,” tanya Nara sembari menikmati ice cream miliknya. Tak seperti Nara, Hanna justru hanya bersuara jika Nara mengajaknya bicara. Anggap saja ia memberikan waktu pada gadis kecil itu agar berani melakukan konversasi dengannya.

“Ayahmu dulu terkenal, anggap saja seperti boyband EXO,” jawab Hanna asal, yang terpenting ia tak salah bicara. Bisa iris Hanna lihat gadis kecil itu mengangguk pelan, sejurus kemudian berujar, “Ayah juga tampan seperti mereka,” tambah Nara tanpa sadar membuat Hanna tersedak sendiri.

Dengan terbatuk-batuk, Hanna menutup bibirnya. Sebenarnya, ayahmu memang tampan—Ucap Hanna membenarkan dalam hati.

Keheningan lagi-lagi melingkupi keduanya. Tak ada yang membuka percakapan. Hanna sibuk dengan pemikirannya, sedangkan Nara, gadis kecil itu sibuk menelanjangi seisi mall. Ingin rasanya ia kembali jalan-jalan lagi, tapi ia rasa wanita di sampingnya itu sudah lelah. Hanya dengan ini saja, ia sudah banyak berterima kasih. Kebosanannya sudah hilang.

Eonni tidak mau pulang?”

“Huh? Secepat ini? Tidak mau membeli sesuatu, lagi?” tanya Hanna yang masih terkejut. Ia pikir gadis kecil yang masih menggenggam tangannya erat itu ingin berlama-lama di sana. Sebagai jawaban, Nara menggeleng. “Aku mau yoghurt buatan Han ahjumma di rumah,” ucapnya.

Oh Nara bangkit, kemudian diikuti Hanna yang akhirnya mengikuti keinginan gadis kecil itu agar segera pulang. Tak lupa ia menjinjing beberapa paper bag belanjaan mereka, lalu menjejakkan kaki pulang ke rumah dinas Sehun. Pria itu ke apartemen hanya ketika weekend(yang ini Hanna baru mengetahuinya dari Nara tadi).

.

Tak sampai dua puluh menit, mobil putih milik Hanna akhirnya sampai juga di depan gerbang rumah dinas Sehun. Bisa ia lihat dengan mata telanjang sekalipun betapa ketatnya penjagaannya. Ada tiga sampai empat orang dengan setelan jas berjaga di depan gerbang.

“Apakah Anda sudah membuat janji?”

Pertanyaan itulah yang ia dapat ketika dirinya meminta untuk dibukakan gerbangnya sebagai akses masuk. Ia tidak mungkin mengantar Nara hanya sampai di depan rumah—sesuai dengan amanat Sehun yang memintanya menunggu sampai ia kembali.

Menggunakan kode non-verbal, Hanna menyuruh Nara agar menampakkan diri dari jendela mobil. Mencoba—lagi—mendapatkan akses dan ia berhasil mendapatkannya setelah Nara mau diajak bekerja sama.

Hanna lekas kembali ke mobil dan melajukannya menuju pelataran rumah dengan perpaduan antara rumah korea yang sederhana namun terkesan mewah. Entahlah, Hanna bahkan sampai bingung mendeskripsikannya. Pasti rumah ini dibuat dengan arsitek terbaik—ujarnya dalam hati.

“Ayo masuk!” Baru saja Hanna membuka pintu mobilnya, Nara sudah mendahului juga menarik tangannya. Mengajaknya masuk ke rumah, lantas menyuruhnya duduk di sofa. “Aku mau ganti baju dulu,” ujarnya kemudian pergi entah kemana. Ia pun hanya menelisik desain rumah itu dalam diam.

Tak lama kemudian, gadis kecil itu datang dengan membawa beberapa buku juga dua cup yoghurt yang ia katakan sebelumnya. Hanna pun juga sempat membatin sikap Nara yang lebih berani atau setidaknya percaya diri juga talkactive daripada di mall. Mungkinkah ada sesuatu yang disembunyikan gadis kecil itu?

“Kau mau belajar di siang hari?” tanya Hanna. Perilaku serta sikap yang Nara tunjukkan membuatnya percaya bahwa Sehun bisa menjaga juga mengasuh anak semata wayangnya itu. “Ayah selalu menyuruhku mengerjakan PR setelah pulang sekolah supaya nanti malam bisa tidur lebih cepat,” ujarnya dengan bersemangat.

Hanna hanya mengangguk mengenai jawaban si gadis kecil itu. Ia kembali menatap Oh Nara yang sibuk dengan tumpukan buku-buku tipis di atas meja ruang keluarga. Tunggu! Hanna baru sadar kalau ia sedang di ruang keluarga Oh Sehun.

“Nara, apa ayahmu tidak akan memarahi kita bermain di sini?” tanya Hanna hati-hati. Ia memelankan suaranya seolah ia sedang bersembunyi. Tak perlu dua kali ‘kan Hanna bercerita bahwa pengawalan di rumah dinas ini begitu ketat?

Nara menggeleng, namun setelahnya bersuara, “Ayah yang memintanya,”

Hanna hanya bisa membulatkan matanya penuh. Agaknya ia tahu bagaimana skema permainan Oh Sehun untuknya. Apakah pria jangkung itu mencoba mendekatkan dirinya dengan Oh Nara dan mencoba menyatukan mereka seperti keluarga? Sungguh klise! Cibir Hanna dalam hati.

.

.

.

“Satu rapat lagi selesai,” ujar Yoongi memberitahu Sehun agar bersiap. Sehun tak bisa mengeluh—itu bukan gayanya—maka dari itu, ia hanya bisa mengendurkan dasi hitam bergaris miliknya. Menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi, lantas menghembuskan napasnya kasar.

Melihat kegusaran nampak kentara dari air muka sahabatnya itu, Yoongi pun mengambil alih kursi di hadapan pria itu. “Ada masalah?” tanya Yoongi sembari meletakkan beberapa berkas yang harus ditandangi pria Oh itu.

Jika menggeleng, Sehun berbohong. Tapi jika ia mengangguk, belum tentu masalahnya bisa hilang. “Tidak, aku hanya sedikit lelah,” ujarnya final. Sehun rasa ini belum saatnya untuk menceritakan masalahnya pada Yoongi.

Mendengar penuturan Sehun yang agaknya menyimpang—menurutnya—Yoongi hanya menurut. Ia tak bisa memaksa sahabatnya itu untuk berkata jujur juga menceritakan apapun padanya. Sehun bukan anak kecil meskipun mereka berteman sejak kecil. Hanya saja mereka sempat terpisah selama beberapa tahun dan kembali bersama.

“Baiklah,” hanya itu yang bisa Yoongi ucapkan. Setelahnya, ia meminta izin untuk undur diri dengan maksud agar pria itu menyendiri terlebih dulu. Sayangnya, belum sempat ia menunaikan niatnya, Sehun memanggilnya. “Apa?”

“Aku bertemu dengan calon mertua,” tiba-tiba dan tanpa diminta, Sehun mengungkapkan kegelisahannya. Ia menginginkan sebuah jalan keluar dan ia paling tidak bisa menyembunyikannya. Ia butuh seseorang untuk berbagi kesedihan juga beban yang tanggung.

Yoongi membalikkan badannya, menatap Sehun lurus. “Aku tahu kau sudah memikirkannya jauh-jauh hari,” ujar Yoongi mencoba meruntuhkan kegundahan pria Oh itu. Namun, tanggapan yang ia dapat dari empunya berbeda. Pria itu bangkit, lantas berdiri. Menghampiri sahabatnya yang hampir melewati ambang pintu.

“Apakah menjadi masalah kalau aku menceritakan tentang ibuku yang pergi entah kemana itu?” Inilah kegelisahan yang Sehun hadapi sekarang. Ia hanya takut karena ia mengatakan kebenaran yang sebenarnya, Ny. Kim akan memikirkan kembali mengenai lamarannya itu.

Yoongi bungkam beberapa saat. Ia mencoba menganalisa, meskipun ia tak bisa. Dirinya belum pernah bertemu dengan calon istri Sehun, juga dengan calon mertuanya. Ia tak bisa berbuat banyak selain mencoba menenangkan pria jangkung itu.

“Apa kau yakin itu berpengaruh? Aku rasa itu tidak mungkin,”

“Benarkah?”

Yoongi menggendikkan bahunya acuh. “Well, aku belum pernah bertemu dengan calon istrimu itu,” ujarnya memberitahu. Sehun pun kembali berpikir sejenak. “Dia bekerja sebagai dokter di Sanghae Hospital,” timpal Sehun ikut memberitahu.

Sanghae Hospital? Hyejin juga bekerja di sana—pikir Yoongi menelisik. Tetapi, kendati mereka sudah berteman selama hampir bertahun-tahun lamanya, ia belum memberitahukan kepada Sehun mengenai Hyejin. Ia hanya belum siap atau mungkin belum saat yang tepat.

.

.

.

Jarum jam di Rolexnya sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh. Jantungnya berdebar-debar sejak tadi. Takut-takut kalau Hanna akan marah dan enggan bicara dengannya. Sebelumnya, ia berencana akan kembali setelah makan malam—biasanya jam tujuh. Tapi, ia sudah mengingkarinya lebih dari dua jam.

Setelah beberapa menit mobilnya berkendara, akhirnya ia sampai juga di pelataran rumah dinasnya. Ia lekas berlari, sampai-sampai meninggalkan beberapa barangnya di mobil. Tak peduli karena yang ada dipikirannya hanyalah Hanna seorang.

Namun, semua spekulasi yang sudah berputar di kepala Sehun lenyap begitu saja ketika tahu kalau Hanna masih ada dalam jangkauannya sekarang. Hazel hitam pekatnya menangkap sosok gadis berambut sebahu dengan kaca mata bulat yang bertengger manis melingkari mata indahnya, juga si kecil yang tidur di pangkuannya.

Awalnya, Sehun menyangka bahwa calon istrinya itu hanya duduk dan memejamkan matanya. Kendati demikian, ia tetap mengambil langkah mendekati Hanna untuk memastikan. Tangannya terlipat di depan dada dengan posisi kaki bersila.

Sehun mengibaskan tangannya untuk memastikan apakah Hanna benar-benar tidur. Bahkan, untuk memastikannya sekali lagi, Sehun melepas kaca mata yang masih dipakai itu. Dan benar! Nyatanya Hanna tak terusik, dan itu berarti bahwa gadis Kim benar-benar tertidur.

Dalam diam, Sehun menatap wajah gadisnya. Ia mulai menilisiknya dari mata yang terpejam itu, hidung mancungnya yang mungil, serta bibir tipis yang pernah ia cium sekali beberapa tahun yang lalu sebagai hadiah untuknya karena menjadi lulusan terbaik. Mengingat yang terakhir membuat Sehun tersenyum.

Pasalnya, Sehun tahu kalau itu adalah ciuman pertama Hanna dan ia memintanya sebagai hadiah. Tentu saja Hanna menolak, namun Sehun tetaplah Sehun; jika ia menginginkan sesuatu, ia harus mendapatkannya.

Sekon berikutnya, ia akhirnya bangun dari lamunan panjangnya. Segera dirinya mengambil langkah untuk menggendong si kecil ke kamarnya, menidurkan gadis kecilnya itu di kamar. Kendati ia mengambil langkah terlebih dahulu untuk anaknya, bukan berarti ia tak peduli dengan Hanna. Terbukti dengan berlarinya ia dari lantas dua menuju lantai satu dengan tergesa-gesa, seolah Hanna akan lenyap dari pandangannya jika ia tak bersegera.

Bersyukurlah Sehun ketika ia masih mendapati Hanna dengan posisi yang sama seperti sebelum ia meninggalkannya. Tak menunggu lama, ia mendekati gadis itu. Mengangkatnya dengan bridal style, menuju kamarnya.

Perlahan, ia menurunkan gadis bertubuh mungil itu di atas kasurnya. Membenarkan posisi kakinya terlebih dahulu, sebelum selimut ia tarik ke atas demi menjaganya dari dingin yang hendak menyapa.

Kembali mengambil sunyi untuk berpikir, Sehun memandangi Hanna lagi sebagai pusat fokusnya. Memikirkan apa yang sejak siang tadi ia pikirkan—sekembalinya dari kediaman Ny. Kim—dan selalu mengusik pikirannya. Anggap saja Sehun terlalu nervous atau berlebihan, tapi itu memang kenyatannya.

“Bolehkah aku egois untuk mendapatkanmu, Han?”

.

Will be continue

.

APA YANG AKAN SEHUN LAKUKAN???!!! *capslock mode on

Maapkan aku yang pada eps ini mereka gak ada momen romantis. Waktu dapet timing yang pas, eh Hanna-nya tidur. Ya, sudah 😀 Tapi ‘kan udah sesuai request di chap sebelumnya yang pengen tahu gimana reaksinya Nara kalo ketemu Hanna? meskipun ini bukan akhir dari Nara-Hanna(Author suka spoiler)

Chap depan ada main cast baru 😀 kkkk Entah mengapa diriku tak tahu, ketika bikin readers penasaran, rasanya ada kepuasan tersendiri/dibunuh pake sandal/ -_-

And entah mengapa aku sering sekali kena WB

Pokoknya, kalo pengen aku update cepat, please komennya juga ditambah ya 🙂 biar aku-nya semangat, karena suara-suara kalian itu begitu berharga untuk memunculkan ide di otakku. :’)

Selesai sudah cipika-cipiki author sok terkenal ini, happy Monnight. Annyeong!

40 thoughts on “1435 #3—PutrisafirA255”

  1. akhirnyaaa udate jugaaaaa 😀
    sehun & nara sama-sama keras kepala iiih.
    dan aku sukaaa sm sosok sehun yg jadi ayah.
    tapiiii kalimat hana yang “Wajahnya mirip sekali dengan Helena, namun entah mengapa ia tak merasakan Oh Sehun dalam diri gadis itu”, kok curiga nara bukan anaknya sehun yaa?? 😮
    emang berhasil authornya bikin penasaran -_-
    semangat untuk buat chapter selanjutnyaa 🙂

    Like

  2. Akhirx lm ku tunggu ff ini update juga… alu suka dgn reaksi nara terhdap hanna.. mudah mudahan nara dapat mnerima hanna dgn cpt..
    Walaupun moment dehun hanna kurang tp aku ttp suka mrk dsni…g nyangka juga sehun udh nekad aja lamar hanna ke ibux..daebakk

    Like

  3. Ahh si nara udah ketemu Hanna akhirnya 😄 aku kira mereka akan awkward gitu kalo ga si nara nya ngejudesin si hanna kek Helena wkwk ternyata ga yak wkwk
    Hmm si sehun udah siap banget yak nikahin si hanna. Aku harap mereka bersama lohh. Ini si nara keknya bukan anak kandung si sehun yak (?) Ya ga sii? Soalnya umurnya nara aja 4 Thun, sehun nikahnya baru 3 Thun. Yahh semoga aja bukan anak kandung yaaa. Aduhh ga sabar next nyaaa. Ditunggu yaa

    Like

    1. Mungkin kamu cocok banget masuk ke Dispatch 😂 iya gak? 🤔ehmm.. diiyain ajalah 😅

      Thanks for comment 😚

      Like

  4. Kok curiga klo nara bukan anak sehun sih???lagian mereka baru nikah 3 thn tapi nara udh 4 thn??? Apa yg bakal sehun lakukan,wkwk ditunggu kelanjutannya. Keep writing and fighting!!!

    Like

  5. Keknya nara bukan anak sehun yakk?? Thor ada part nc nya ga nih abis ini? Aku nungguin nc *plakk* abaikan otakku yg yadong kelewatan ini wkwkw

    Like

  6. sekarang aku tau apa salah satu hobi kamu put, bikin orang penasaran
    tapi bener aku setuju sama beberapa komentar diatas kalo nara bener anak sehun apa bukan?

    tapi karna hobi kamu bikin readers penasaran aku merasa ga perlu nanyain kamu, karna itu bakal nikin kamu lebih seneng wkwkwk
    HAHAHAHA /ketawa evil/

    berhubung aku bacanya ditempat pkl dan ini sudah memasuki jam pulang kerja jadii aku baca lanjutannya di rumah aja yaaa

    semangat puttttt ^^

    Like

    1. Iya, sampe-sampe aku sering dikacangin kalo lagi ngomong 😀

      Cie.. aku diperhatiin sampe eon tau banget hobiku /wink +aegyo=kejang

      Iya.. pulang nak, entar dicari emak 😀

      Like

  7. aaaa semoga aja nara suka sama hanna.sehun cocok banget deh jadi ayah,mau dong jadi anaknya sehun.
    oh ya semoga sehun sama hanna jadi nikah hihihi.
    semangat kak buat ngelanjutin nulis ffnya.Fighting!!!

    Liked by 1 person

  8. sehun nekad bgt yaa sampai buat rencana agar hanna nara deket, bisa akrab.. hahaha, tapi salut aku sm km hun..
    .tiba” dateng aja ke rumah camer buat ngelamar, apalagi pihak perempuan ga tau apa”..mauu donggggg

    Like

  9. sehun baru nanya bolehkah dia egois.. kamu udah egois dari chapter awal sehun.. jadi ibunya sehun hilang.. aku sempat binggung pas sehun bilang ibunya mati.. kan dia nikahi hellena demi ibunya kan..

    Liked by 1 person

  10. Jadi si cahyo alias chanyeol masih suka sama Hanna? Jangan bilang cast baru perusaak wkwkkw. Izin baca ya kak…

    Like

  11. Dikisah ini banyak nge-nguras sakit hati ya . Tapi disitulah kelebihannya ,aku selalu suka ff ini . Lanjutin terus thor bakat nulisnya

    Liked by 1 person

Your Feedback, Please!