Someone Called Wound
Sehun X OC
AU, Romance, Hurt, Friendship, etc.
Teen X Vignette
“Kau bilang perasaan itu bukan bertepuk sebelah tangan. Nyatanya, aku malah merasakan luka yang jauh lebih besar dari sebelumnya.”
.
.
.
.
.
Dunia masih berputar sesuai dengan porosnya. Daun-daun masih suka saja berisik ketika angin meniupnya. Salju masih saja enggan pergi. Dingin yang menyapa masih saja membuatku mengeratkan mantel guna melindungi pori-pori kulitku.
Aku terhenyak ketika mendapati pria itu di depan rumahku. Hawanya masih sama, tak ada yang berbeda. Ia menatapku dengan senyuman yang tak lagi bisa definisikan sebagai sebuah kehangatan. Semua itu sudah lebur menjadi sebuah luka ketika ia mendeklarasikan hubungannya dengan housemateku. Sungguh sialan pria ini!
“Dia mabuk. Aku akan mengantarnya sampai kamar.” Ujarnya padaku dengan senyum yang masih terpatri sempurna di bibir manisnya. Bahkan ketika luka itu masih menganga, mengapa aku malah dengan bodohnya masih memiliki perasaan untuknya?
Tanpa kuberikan jawaban, ia membopong Jenny setelah kutepikan badanku yang lebih pendek dari mereka berdua. Pria itu sudah hapal seluk-beluk rumah ini, sehingga tanpa perlu kuantar pun ia tak akan tersesat.
Dan aku? Tak perlu repot-repot bertanya karena aku hanya bisa berdiri tercenung menunggu pria itu datang. Mengatakan kalimat yang memang sering menyapa, hingga aku pun muak mendengarnya. “Kau belum tidur?”
Basa-basi macam apa itu, Oh Sehun? Pria bermata tajam itu kuserapahi dalam hati. Kalaupun aku berani mengonversinya menjadi sebuah untaian kalimat, maka keesokan harinya aku akan mendapatkan surat PHK dari atasan. Menyedihkan memang.
“Aku sedang sleep-walking.” Sahutku ketus, tak ada harapan untuk bermanis-manis lagi padanya. Aku pun melangkahkan kaki menuju kamar, tak mengindahkan keberadannya jikalau tangan itu mencengkeram lenganku. Membawa tubuh ringkihku ke dalam pelukannya. Memberikan sebuah kehangatan yang menjalar hingga ke dalam sel-sel tubuhku. Aku benci saat-saat aku menjadi lemah seperti ini.
“Maaf,” Suara merdu bariton itu menyapa pendengaranku. Aku tak berkutik, namun tak bodoh untuk mengartikan kata itu. Ia lantas membubuhi satu kata itu dengan untaian kata yang lain. “aku menyakitimu lagi.”
Dia sadar, tapi dia akan melakukannya lagi dan lagi.
“Kalau begitu, pilih salah satu.” Kataku memberanikan diri memberinya pilihan. Kurang ajar memang ketika aku tak punya hubungan apapun dengannya, tapi masih bisa memberikannya pilihan dan menyudutkan kenyamanan hatinya seperti ini. “Lalu aku tak perlu berbagi hati lagi.”
Pria bermata tajam itu merenggangkan pelukannya. Menunduk guna menatapku, dan aku memilih untuk membuang tatapanku ke sembarang arah. Aku belum siap mendapati tatapan matanya yang berbohong guna membahagiakan hatiku. Terlalu klasik, hingga aku bisa membacanya.
“Tentu aku akan memilihmu. Bukankah kita sudah membicarakan ini sebelumnya?” tanyanya. Oh Sehun, si pemilik perusahaan properti terbesar ini seketika menjadi bodoh ketika dihadapkan oleh sebuah pilihan hati. Terlalu banyak kebohongan yang ia lakukan, yang nyaris menyerupai kebenaran kalau saja aku tak pernah menemui kenyataannya.
Seketika saja, aku menangkap sebuah bingkai foto yang terpajang dari balik bahu tegapnya. Dimana aku, Sehun dan juga Jenny berpose dengan manis di sana. Foto itu diambil tepat ketika kami bertiga merayakan wisuda kelulusan. Tiba-tiba saja sudut hatiku berdenyut nyeri. Aku tak punya lagi kalimat untuk dikatakan. Jadi, aku mendorong tubuhnya dan meninggalkannya.
Benar-benar meninggalkannya.
***
Sebelah sudut bibirku terangkat. Menatap rangkaian kata-kata yang tergabung menjadi kalimat memuakkan saat aku membacanya. Dia, masih dengan keberanian yang sama, mendatangiku. Pagi ini, aku dikejutkan oleh pelayan rumahku yang seketika menjadi panik kala mendapati seorang tamu.
Bukan menjadi rahasia lagi ketika aku pulang ke Manhattan, ayah mengangkat jari telunjuknya ke arahku dengan tatapan marahnya. Usut punya usut, ternyata ayah tahu bahwa aku melarikan diri untuk mendapatkan gelar sarjana di kampung halaman ibu tanpa sepengetahuannya. Padahal kala itu diberikan pilihan pergi ke Brooklyn, yang dengan bodohnya kutentang begitu saja.
Kemudian, keesokan harinya kudapati seorang pria berbadan tegap dan berahang tegas duduk di dalam kamarku. Pria tak punya tata krama yang menjadi korban perjodohan bersamaku. Menyusun sebuah skenario tak bertuan yang kemudian kami jalani sampai saat ini. Cerita menyedihkan yang klise dan kubenci selama alur hidupku.
“Bagaimana dengan suamimu? Dia berlaku baik ‘kan padamu?”
Dia sangat baik. Bahkan ketika aku masih menyukai pria lain selain dirinya, dia ikhlas. Dia sangat menghormati wanita, menjadikannya prioritas, walau terkadang aku sering menudingnya melemahkan martabat wanita. “Setidaknya lebih baik daripada dirimu.”
Aku memukulnya terlalu keras, hingga ia menatapku lemah. Aku pun meremas kertas yang ada di genggamanku, hingga kurasakan sebuah telapak tangan besar menyapa telapk tanganku yang mendingin―kebiasaan yang tak akan hilang ketika aku sedang dilanda kegelisahan. Aku menoleh, mendapati si jangkung duduk di sebelahku. “Willis…”
Dia tersenyum padaku, senyuman tulus. Jika saja dia bukan suami yang baik, pria yang bisa menjaga hatinya untukku, maka ia akan terbakar api cemburu sedangkan aku sendiri kelabakan mencari alternatif penyelesaian. Namun, dia dengan kesabaran dan juga kedewasaannya, menyapa Sehun tanpa ada beban di hatinya.
“Kau yang namanya Oh Sehun? Evelyn sering menceritakanmu padaku.” Katanya. Sepintar-pintarnya Willis dalam menghadapi permasalahan, bibir seksinya itu tak bisa menjaga perkataannya sendiri. Sontak, aku pun mencengkeram telapak tangannya. Memberikan tanda tanpa harus diubah menjadi verba. “Kalian pasti berteman baik.”
Sehun menatap balik netra coklat pekat milik Willis, disusul senyum manis palsunya yang merekah. “Kami berteman sangat baik.”
“Sehun, ini Willis―suamiku.” Aku memperkenalkan Willis kepada Sehun, berhara bahwa pria itu akan terbakar api cemburu. Namun, sejurus kemudian aku berpikir lagi; memangnya itu ada gunanya? Sedangkan Sehun sebentar lagi akan menikah dengan Jenny.
“Kalian sangat serasi.” Tutur Sehun sembari menatap Willis. “Tolong jaga Eve untukku. Aku tidak bisa membahagiakannya, tapi setidaknya ia menikah dengan orang yang tepat.” Setelah kalimat itu menohok hatiku, Sehun pamit undur diri. Berlekas-lekas meninggalkan kediamanku dan Willis tanpa banyak bicara lagi. Tetapi, aku seketika teringat tujuan Sehun datang.
“Jangan tunggu kedatanganku di pesta pernikahanmu,” aku mendekat ke arahnya. Meninggalkan Willis yang sepertinya masih tidak percaya dengan apa yang kukatakan. “karena aku tidak akan pernah datang.”
Setidaknya, kau paham bahwa aku bukan lagi Evelyn yang bodoh. Yang dengan mudahnya dipermainkan hatinya, kemudian kau buang tanpa kau indahkan. Aku sudah merasakan banyak luka, hingga aku tidak perlu dirimu lagi untuk menambahnya.
Sebab, kau hanya masa lalu yang menyakitkan dan masa depanku sudah ada di depan mata.
―End―
Halo, semuanya. First, makasih sudah mau baca. Second, truthfully I miss you guys. Ini kayaknya udah satu tahun lebih aku udah nggak buka wordpress. Kangen kalian para readers yang setia menemani. Semoga fict ini menghibur kalian semua. Love you all!